CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA-Muhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)

CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA-Muhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)
  • CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA-Muhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)

  • Views 3,013

  • Downloads 2,365

  • File size 451KB
  • Author/Uploader: Documents

URNA, Jurnal Seni Rupa merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. URNA berisikan artikel konseptual, resume penelitian, dan tinjauan buku. Bertujuan untuk mengembangkan dan mengomunikasikan secara luas perkembangan seni rupa dan pendidikan seni rupa baik yang sifatnya teoretis maupun pragmatis. Terbit dua kali setahun, tiap bulan Juni dan Desember.

Penanggung Jawab

: Eko A.B. Oemar

Ketua Penyunting

: I Nyoman Lodra

Wakil Ketua Penyunting : Asy Syams Elya Ahmad Penyunting Ahli

: Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya) Martadi (Universitas Negeri Surabaya) Sofyan Salam (Universitas Negeri Makassar) Tjetjep Rohendi Rohidi (Universitas Negeri Semarang)

Penyunting Pelaksana

: Salamun Kaulam Asidigisianti Surya Patria Muhajir Nadhiputro Marsudi

Sekretaris

: Nova Kristiana

Administrasi

: Fera Ratyaningrum

Alamat Redaksi: Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya Gedung T3 Lt. 2, Kampus Lidah Wetan Surabaya 64732 Telp/Fax. 031-7530865 | E-mail: [email protected] [email protected] | Website: htp://www.urna-jurnalsenirupa.org

ISSN 2301–8135 © 2012 Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya

Gambar sampul depan: Wajah. Lukisan karya Salamun Kaulam (2007).

ISSN 2301–8135 Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105

daftar isi Artikel: PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS DALAM PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

1

Martadi (Universitas Negeri Surabaya)

PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN PRAKTIK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

11

I Nyoman Lodra (Universitas Negeri Surabaya)

NILAI ESTETIKA DALAM KOMODIFIKASI WADAH DI MASYARAKAT HINDU BALI

21

I Ketut Side Arsa (Institut Seni Indonesia Denpasar)

PROSES APRESIASI DAN KREASI DALAM TRITUNGGAL SENI

30

M. Sattar (Universitas Negeri Surabaya)

PENGGUNAAN UNSUR-UNSUR BUDAYA BALI DALAM BOG-BOG BALI CARTOON MAGAZINE

42

I Wayan Swandi (Institut Seni Indonesia Denpasar)

CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA

50

Muhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)

MAKNA SIMBOLIS RAGAM HIAS PENDAPA TERAS CANDI PANATARAN Rustarmadi (Universitas Negeri Surabaya)

63

ISSN 2301–8135 Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105

Resume Penelitian: PERSEPSI GENDER GAMBAR ILUSTRASI DALAM BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SEKOLAH DASAR KELAS I – III

76

Asidigisianti Surya Patria (Universitas Negeri Surabaya)

PENGEMBANGAN MEDIA DIGITAL KRIYA TOPENG MALANG UNTUK PEMBELAJARAN SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

89

Marsudi (Universitas Negeri Surabaya)

Tinjauan Buku: BUKU PENTING DI TENGAH DUNIA SENI RUPA YANG GENTING Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)

101

CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPA

Muhajir Nadhiputro

Abstrak: Pencitraan wanita dalam karya seni rupa beraneka ragam, bergantung pada latar belakang penciptaan karya tersebut. Kajian atas sejumlah karya seni rupa ini menyimpulkan beberapa jenis pencitraan antara lain wanita sebagai simbol kesuburan, feminin, sifat keibuan, manusia lemah, penghias dunia lelaki, keagungan dari wanita sempurna, simbol kepahlawanan dan didekonstruksi. Abstract: Imaging of women in art works really vary, depending on the background of the creation of the works. This study concerning a number of art works concluded several types of imaging such: as a symbol of fertility, feminine, maternal love, a delicate human being, a ornament to the world of men, the glory of perfect women a symbol of heroism, deconsrtucted as an unatractive human being. Kata kunci: citra, wanita, karya seni rupa

Banyak cara untuk mencitrakan wanita, dalam tradisi Jawa wanita dicitrakan sebagai sumber keberuntungan atau kesuburan (Dewi Sri). Wanita juga sering disimbolkan sebagai bumi yang mengayomi (Dewi Pratiwi). Tetapi di samping citra positif, dalam perspektif gender, wanita lazim pula dicitrakan secara negatif, sebagai sosok inferior di bawah subordinasi laki-laki. Wanita atau perempuan, dalam masyarakat patriarkhi “didudukkan” lebih rendah daripada laki-laki. Dalam perspektif gender atribut-atribut kewanitaan seperti lemah lembut, pasif, patuh, ketergantungan dan sifat-sifat femininitas yang lain bukanlah kodrat akan tetapi konstruksi sosial yang dikreasi oleh kaum laki-laki. Tiap-tiap pencitraan wanita mulanya muncul dari seting yang bersifat kontekstual, dari latar belakang sosial budaya tertentu dan untuk tujuan tertentu pula yang kemudian menjadi mitos. Karena itu, maka tidak terlalu berbeda dasar kewanitaannya antara dewi Tamara, raja putri dari Kaukasia, Hatsjepsut dari Mesir Kuno, Nyi Roro Kidul dalam mitologi Jawa dengan kupu-kupu malam di pinggir jalan. Bedanya hanya yang satu penakluk para raja sedang yang lain penakluk para hidung belang. Barangkali selamanya wanita tinggal sebuah misteri. Apakah ia

Muhajir Nadhiputro adalah Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. e-mail: [email protected]

50

akan dianggap sebagai dewi yang agung dan keramat, ataukah dipandang sebagai setan penggoda, tergantung dari kasus dan tradisinya. Citra wanita tidak hanya lazim diungkapkan secara verbal melalui karya sastra, tetapi acap pula terekspresikan dalam bentuk visual seperti yang dilakukan oleh para perupa. Baik citra kewanitaan yang terungkap lewat bahasa verbal maupun lewat bahasa rupa pada dasarnya adalah merupakan perwujudan dari konsep kewanitaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau bahkan perorangan semata yang karena itu maka beraneka ragam pula bentuknya. Berangkat dari latar belakang tersebut tulisan ini mencoba memaparkan pencitraan wanita oleh para perupa yang terjabarkan lewat karya-karyanya. Data diperoleh dari literatur yang memuat gambar-gambar (reproduksi wanita) yang diambil sesuai kebutuhan dan tujuan. PATUNG DAN LUKISAN “VENUS” Patung Venus dari Willendorf boleh jadi merupakan perwujudan patung tertua yang menggambarkan igur wanita. Patung ini berasal dari masa prasejarah Eropa, dari era Paleolitikum sekitar 20.000 tahun sebelum masehi. Di dalam sejarah Romawi Venus dikenal sebagai dewi kecantikan, cinta, dan perjodohan. Venus juga diidentikkan dengan Aprodit, yang hidup dalam mitologi Yunani.

Gambar 1. Patung Venus dari Willendorf

Mengamati patung ini dengan menggunakan kriteria kecantikan kita era sekarang tidak akan menemukan hasil yang memuaskan, karena tidak dapat dijumpai citra kecantikan seorang dewi di dalamnya. Secara bentuk patung ini dapat dikatakan tidak ideal, sebab postur tubuhnya terlalu gendut cenderung bulat. Agaknya Venus dari Willendorf ini merupakan perwujudan dewi kesuburan. Deskripsi

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

51

patung tersebut ialah kepala besar yang seolah-olah tidak memiliki leher, dengan berhiaskan rambut keriting. Dengan kata lain, bagian kepala langsung berhubungan dengan tubuh yang didominasi oleh menggelembungnya buah dada dan perut besar, dengan central point bagian pusar. Dalam keadaan demikian, patung bugil ini jelas tidak memiliki pinggang langsing. Lebih lanjut kesan gendutnya disokong pula oleh pangkal paha yang besar, sementara ujung kakinya teramat kecil. Agaknya, karena sebagai lambang kesuburan, maka pengerjaan teknis patung Venus dari Willendorf dipusatkan pada organ-organ tubuh yang secara fungsional mendukung aspek reproduksi, yakni buah dada, perut dan wilayah sekitarnya. Raut muka, tangan dan kaki nyaris tidak dikerjakan.

Gambar 2. Lukisan Venus karya Sandro Boticelli

Salah satu karya unggulan Sandro Boticelli ialah Venus yang berangka tahun 1486 (Monteverdi, 1985: 220). Bila dibandingkan antara lukisan Venus kreasi Botticelli dengan patung Venus dari Willendorf terdapat persamaan dan perbedaan sebagai berikut, persamaannya, dua karya tersebut diungkapkan secara telanjang badan dan sama-sama berkesan agung. Sedang perbedaannya, Venus Willendorf lebih memancarkan keagungan esoteric (keagungan dalam), sedang Venus-nya Boticelli adalah perpaduan antara keagungan esoteric dan “keanggunan eksoterik” yang secara nyata terjabar lewat “kesempurnaan” bentuk lahiriahnya. Membandingkan keduanya secara tata lahiriah memang berbeda kontras. Karakteristik bentuk visual Venus dari Willendorf sebagaimana telah disebutkan serba tambun kebulat-bulatan (identik dengan kesuburan), sedangkan Venus Boticelli digambarkan sebagai sosok wanita (dewi), dengan kullit kuning langsat (mulus) dan rambut terurai panjang hingga bagian ujungnya dimanfaatkan untuk menutupi

52 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62

alat kelaminnya. Kesan secara keseluruhan lukisan Venus Boticelli ialah Feminin. Venus lainnya adalah yang dilukis oleh Francois Boucher (1703–1770). Dibandingkan dengan Venus-venus terdahulu, Venus karya Boucher terkesan sama sekali tidak memancarkan keagungan esoterik. Ia dapat dikatakan lebih menyinarkan kecantikan eksoterik yang cenderung artiisial kulit dangkal. Dalam menggali hakikat kewanitaan agaknya Boucher sangat dipengaruhi oleh gemerlapnya kehidupan para putri bangsawan Perancis yang sangat mewah. Maka lahirlah dari tangannya Venus ratu glamour, yang oleh van Peursen (1976) disindir lebih menyerupai seorang wanita muda yang puas diri dan sedang melamun, kenes dan terbuai dalam kecantikannya. Adegan ini seolah-olah dipandang oleh seorang seniman yang wawasan spiritualnya kurang mendalam, sehingga kendatipun sosok ini digambarkan dengan beberapa identitas Venus, seperi kulit kerang dan burung-burung dara namun tetap saja kurang memancarkan keagungan seorang dewi. MADONNA KARYA PARMIGIANINO Dalam tradisi kesenian Kristen tokoh Madonna (Perawan Suci Maria) banyak digambarkan oleh para seniman. Salah satu di antaranya ialah The Madonna of the Long Neck, karya Francisco Parmigianino (Monteverdi, 1985: 263).

Gambar 3. Madonna, lukisan karya F. Parmigianino

Ditilik dari teknik pengerjaannya, lukisan ini, seperti halnya lukisan-lukisan lain dari era Renaissance-Baroque (yang bersifat naturalis) tergolong mapan, dengan komposisi balance asimetri. Upaya menokohkan Madonna dilakukan dengan cara menempatkan tokoh tersebut di tengah-tengah komposisi, dengan menerapkan hukum “perspektif kepentingan.” Madonna, karena dianggap penting maka

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

53

selain ditempatkan di tengah-tengah komposisi, juga digambarkan lebih besar dari objek pelengkap lainnya. Proporsi tubuh Madonna ini serba kepanjang-panjangan, terutama bagian lehernya. Sikap kaki, tangan, dan tubuh Madonna yang tengah memangku bayi (Yesus?) seolah-olah mengalirkan sifat-sifat perawan suci Maria yang agung dan penuh kasih. WANITA DALAM LUKISAN EUGENE DELACROIX, PIETRO DA CORTANA, DAN MANET Eugene Delacroix pada tahun 1827 berhasil menciptakan karya yang menggemparkan berjudul Kematian Sardanapalus. Lukisan itu menggambarkan adegan peperangan antara bangsa Yunani versus orang-orang Turki. Sebagai seniman, Delacroix menaruh interes berat terhadap kesenian dan literatur-literatur Inggris, terutama karya-karya sastra Shakespeare, Scot, dan Byron. Lukisan tentang kematian Sardanapalus adalah karya besarnya yang diilhami oleh dongeng sastranya Byron.

Gambar 4. Kematian Sardanapalus, lukisan karya Eugene Delacroix

Lukisan tersebut selain menegaskan tentang pertarungan isik juga mengeksploitasi bentuk pornograi yang terjabar dalam wanita-wanita telanjang/setengah telanjang tak berdaya menghadapi perlakuan garang dari para lelaki perampas kehormatan. Suasana garang ditunjang pula oleh pemilihan warna yang tepat, coklat bernuansa kemerah-merahan (Janson, 1984: 128). Posisi wanita dalam subordinasi pria, sebagai makhluk yang lemah, yang tak mampu melindungi dirinya sendiri, bahkan tak berani melakukan perlawanan terhadap bahaya yang mengancamnya. Adegan serupa Kematian Sardanapalus dapat disimak pada karya Pietro Da

54 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62

Cortana berjudul The Rape of the Sabine Women (Monteverdi, 1985: 285). Adegan yang menggambarkan perkosaan terhadap wanita Sabina ini berangka tahun 1629, termasuk dalam era Barok. Memang Pietro da Cortana adalah seorang pelukis dekoratif Barok yang memiliki reputasi besar pada jamannya. Ia sangat mengagumi, dan karenanya terpengaruh oleh karya-karya Titian yang kaya akan warna. Karya-karya masterpiece-nya berupa fresco banyak menghiasi ceiling (langit-langit) istana Barberini di Roma. Hal ini tidak mengherankan karena Paus VIII, seorang patron kuat Pietro berasal dari keluarga Barberini. Mario Monteverdi menggambarkan kepiawaian Pietro: “…agaknya Pietro adalah eksponen gaya Lukisan Dekoratif Barok yang amat tipikal dan spektakuler. Kecakapan teknik tinggi dengan keberanian membuat komposisi warna vibrant (bersemangat, bergetar) adalah ciri khasnya (Monteverdi, 1985: 125). Kembali pada persoalan The Rape of the Sabine Women, lukisan ini menyuguhkan keperkasaan para lelaki yang tengah menjarah tubuh-tubuh wanita. Visualisasi wanita-wanita sintal yang meronta-ronta, didukung dengan warna-warna vibrant mampu menggetarkan syahwat para pemirsa. Dengan demikian suasana dalam lukisan ini sangat tepat dengan tema/judulnya. Kendatipun igur-igur wanita dalam lukisan ini tidak sepasrah wanita-wanita dalam “Kematian Sardanapalus,”—karena berusaha melawan dengan cara merontaronta—tetap saja menempatkan wanita dalam posisi subordinasi pria. Dengan kata lain ketidaksetaraan gender telah berhasil digambarkan secara gemilang.

Gambar 5. Le De Jeuner Sur I’Herbe, karya Manet

Dari mazhab Impresionis kita jumpai Edouard Manet (1832-1883) yang hobi melukis adegan telanjang. Salah satu yang kontroversial ialah Le De Jeuner Sur I’Herbe (Bowness, Alan, 1985: 130), yang menggambarkan suasana kesenangan di

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

55

kebun raya, menampilkan dua pasang lelaki-perempuan dengan teknik pengerjaan naturalis-impressionistis. Dua sosok lelaki dandy nampak sedang merayu pasangannya. Ironisnya, yang lelaki digambarkan berbusana lengkap (parlente), sedang dua ceweknya disuguhkan secara bugil dan setengah bugil. Terasa sekali bahwa dalam adegan tersebut citra wanita tak lebih sebagai penghias dunia lelaki. Berbeda dengan wanita-wanita dalam “Kematian Sardanapalus” dan wanita-wanita dalam “Pemerkosaan wanita-wanita Sabina,” (yang berada dalam suasana ketakutan), wanita-wanita dalam bingkai lukisan Manet ini justeru berada dalam suasana seolah-olah seperti sang putri yang tengah bersanding dengan sang pangeran, yang penuh kenyamanan, keakraban dan kehangatan. Kondisi dan keberadaannya bersama lelaki di perkebunan bukan atas keputusan superior sang lelaki perampas, akan tetapi keputusan yang diprogramkan bersama, dalam posisi tawar yang setara. Namun demikian, tetap saja, seperti kodrat umum yang berlaku, keberadaannya sebagai penghias, pelengkap. WANITA-WANITA DALAM KARYA PICASSO. Pablo Ruis Picasso (1881-1973), pelukis asal Barcelona yang pertama kali belajar corat-coret kepada ayahnya, sebelum menjalani studi formalnya di Barcelona School of Art ini, lebih banyak dikenal sebagai tokoh yang berkutat dalam aliran Kubisme daripada sebagai seniman petualang yang selalu gelisah mencipta dan berinovasi. Padahal selain melukis, Picasso juga membuat karya-karya patung dan grais yang seluruhnya ditaksir mencapai 20.000 karya.

Gambar 6. Marie Therese Walter, lukisan karya Picasso

56 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62

Ada satu hal lagi yang mungkin terlewat dari pengamatan kita, yaitu kenyataan bahwa Picasso banyak mengangkat objek wanita dalam karya-karyanya. Kebesaran nama Picasso (terutama diukur dari segi materi) bukanlah karena dia bapak Kubisme, akan tetapi lebih disebabkan oleh semangat “menggarap wanita.” Misalnya berkat perkenalannya dengan wanita bernama Fernande Oliver, maka mengalirlah sejumlah lukisan dengan objek wanita (periode merah jambu) yang amat terkenal itu. Begitu pun ketika Picasso melompat dan memantapkan diri dalam Kubisme tetap kita jumpai karya-karyanya yang menampilkan objek-objek wanita. Beberapa contoh yang bisa disebutkan antara lain Les Demosseles de Avignon (Perawan-perawan dari Avignon) kreasi tahun 1907 dan Perenang (wanita) sedang duduk (1930), serta Marie Theresa Walter. Perawan-perawan Avignon menggambarkan lima sosok wanita PSK bugil dalam berbagai gaya, perenang menggambarkan wanita bugil dalam pose duduk bersantai, sedang Marie Theresa Walter menggambarkan kekasih gelap kepercayaan Picasso. Tiga lukisan tersebut diwujudkan dalam gaya Kubisme yang cenderung membelah-belah objek. Berkenaan dengan ini Salvador Dali berujar bahwa Picasso adalah seniman genius abad ke-20, yang telah menghancurkan keindahan. PATUNG IBU DAN ANAK DARI SUMATERA Pelacakan sosok wanita dalam karya seni rupa dari dalam negeri menjumpai igur patung batu dari Sumatera Utara yang menggambarkan sosok ibu sedang memangku/merangkul dua anaknya. Patung ini berasal dari masa Prasejarah Megalitikum, suatu periode yang ditandai dengan ciptaan-ciptaan karya dari material batu berukuran besar. Mengamati patung tersebut dapat dibuat deskripsi sebagai berikut (1) patung ini nampak massif dan berat, (2) tampak sederhana, kaku, hanya mengutamakan esensi bentuk, (3) tanpa ornamen alias polos, (4) ukuran telinga terlampau besar, (5) menggambarkan seorang ibu sedang memangku dua orang bocah, (6) bentuk bocah tersebut tidak seperti anak-anak, akan tetapi lebih menyerupai orang dewasa yang diperkecil ukurannya. Kesan secara keseluruhan yang dapat dirasakan atas citra wanita dalam patung ini ialah sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan perlindungan. PRAJNAPARAMITA Pada abad XIII—dalam sejarah kesenian Indonesia kurun waktu tersebut termasuk Masa Klasik/masa pengaruh Hindu-Budha dari India—dapat dijumpai sebuah patung legendaris Sang Primadona Prajnaparamita. Tingkat kemashyuran patung ini dapat disejajarkan dengan patung Nefertiti dari Kesenian Mesir Kuno, atau Monalisa karya Leonardo da Vinci dari era Renaissance Itali. Prajnaparamita dalam ajaran agama Budha dikenal sebagai dewi kebijaksanaan, yang oleh banyak orang dipandang sebagai perwujudan Ken Dedes, istri pendiri Wangsa Singasari (Soedarso, SP (Ed), 1992: 11). Analisis rupa terhadap

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

57

patung Prajnaparamita dapat dipaparkan sebagai berikut (1) tokoh digambarkan dalam posisi duduk bersila di atas padmasana, (2) menunjukkan teknik pengerjaan naturalis tingkat tinggi dengan komposisi simetri, (3) kaya ornamen, namun secara keseluruhan tetap menunjukkan kesan tenang dan anggun, atau dapat dikatakan perpaduan antara pancaran keagungan esoterik dengan keindahan eksoterik, (4) semua ciri tersebut menunjukkan karakteristik patung Klasik Jawa Hindu.

Gambar 7. Patung Prajnaparamita dari Singosari

PATUNG DURGA DARI CANDI JAWI Dalam masa yang sama dengan patung Prajnaparamita, yaitu masa Pengaruh Hindu dapat dijumpai sejumlah patung wanita bernama Dewi Durgamahes Suramardini. Salah satu di antaranya, yang akan dibahas ialah patung Durga yang berasal dari candi Jawi, di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Personiikasi Durga dalam bentuk patung pada umumnya berupa seorang dewi berdiri di atas kerbau “njerum” (mendekam). Konon kerbau tersebut merupakan penjelmaan Asura, yang suatu saat pernah menjarah dan menguasai kerajaan para dewa. Untuk mematahkan kekuatan bala tentara Asura maka para dewa bersekutu mengerahkan saktinya, yang kemudian terjelmalah Dewi Durga (Holt, 2000). Analisis terhadap dewi Durgamahesa Suramardini dapat dikemukakan sebagai berikut (1) patung durga digambarkan dalam sikap berdiri di atas kerbau Asura yang sedang mendekam, (2) Durga digambarkan dengan atribut lengkap seperti mahkota, telinga berhiaskan kendala yang memanjang dan mewah, kalung mutiara yang berangkap-rangkap, memakai gelang dan binggel, (3) tangannya berjumlah delapan: tangan sebelah kanan menarik ekor kerbau, sedang tangan kirinya “menjambak” (menarik paksa) rambut Asura (4) tangan yang lain memegang senjata cakra, sangkha, dhanu,

58 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62

khadga, trisula, angkusa, khetela, dan sara, (5) komposisi bentuk nyaris simetri, (6) teknik naturalis, dengan kualitas pengerjaan satu tingkat di bawah patung Prajnaparamita di atas. WANITA DALAM LUKISAN KARYA BASUKI ABDULLAH DAN HENDRA GUNAWAN, Dalam khasanah seni rupa modern Indonesia dapat dijumpai beberapa pencitraan wanita yang cukup menarik disimak. Tokoh pelukis Indonesia yang banyak melukis wanita ialah Basuki Abdullah. Seniman lamboyan yang oleh istrinya sendiri dikenal sebagai pengagum wanita cantik ini sangat produktif melukis dan antusias mengangkat harkat keindahan wanita dalam karya-karyanya. Wanita yang ia garap mulai dari para ibu Negara hingga artis papan atas. Dari Ratu Juliana, Tien Soeharto, Ranta Sari Dewi, Mahacakri Sirindorn hingga Cintami Atmanegara dan Yenny Rachman. Dari yang berbusana resmi seperti Ibu Tien Soeharto sampai yang resmi tidak berbusana seperti karyanya yang berjudul “Telanjang” dan “Kembali ke Alam.” Tampaknya Basuki Abdullah pria bertipe romantik yang amat menyenangi keindahan. Dan sifat itu agaknya berpengaruh kuat untuk selalu memperindah (mempercantik) objek-objek dalam lukisannya. Ungkapan klise untuk Basuki Abdullah mengatakan bahwa pelukis ini mampu melukis wanita jelek menjadi agak cantik, yang cantik menjadi sangat cantik, seperti iklan Fuji Film: ”Lebih indah dari warna aslinya.” Ungkapan tersebut sering berlanjut menjadi ledekan bahwa karyakarya Basuki cenderung turistik, yang memberikan kepuasan kulit luar.

Gambar 8. Tiga Pelacur, karya Hendra Gunawan

Gambar 9. Ratnasari Dewi, karya Basuki Abdullah

Pilihan berikutnya ialah Hendra Gunawan (1917-1983). Pelukis kelahiran Bandung ini ditinjau dari segi usia seangkatan dengan Basuki Abdullah. Namun ditilik dari kemampuan teknik melukis Naturalis-Turistik, jelas berbeda rumpun. Hendra tidak pernah “kepencut” terhadap karya-karya manis. Ia lebih banyak

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

59

menggali tema-tema sosial dari kelas dan suasana kerakyatan, seperti “Sekaten,” “Petan” (Mencari Kutu), Kerokan, Menyusui Anak Tetangga, Tiga Pelacur. Lukisan Sekaten menggambarkan tiga sosok wanita (mungkin ibu dan anak) berada di latar depan, sedang latar belakangnya adalah suasana keramaian pasar malam. Lukisan Petan juga menggambarkan tiga sosok wanita (tiga generasi?) yang komposisinya diatur secara vertikal, sedang Tiga Pelacur menggambarkan Pekerja Seks Komersial (PSK) tengah menghias diri. Karakteristik karya-karya Hendra selain tampak pada tema juga kelihatan pada proporsi bentuk yang agak kepanjang-panjangan, teknik pewarnaannya datar (opaque) menyala, yang seolah-olah tak mau disibuki oleh kecermatan detil. Sifat-sifat demikian ini oleh Claire Holt (2000: 220) dipandang mengingatkan pada karya-karya Gauguin. WANITA DESA DALAM KARYA SUDARSO Selanjutnya, kesempatan jatuh pada Sudarso (1914-2006). Pelukis kelahiran Purwokerto ini mengembangkan karir kesenimanannya di kota Gudeg, Yogyakarta. Sudarso pernah bergabung dengan “Kelompok Lima”, yang terdiri atas Afandi, Hendra Gunawan, Barli S, Wahdi Sumanta dan Sudarso sendiri. Pelukis satu ini kesetiaannya terhadap objek wanita tidak pernah ingkar janji. Objek wanita yang diangkat pada kanvasnya selama bertahun-tahun mayoritas ialah wanita desa dengan busana kebaya yang bersahaja. Untuk mendukung citra kedesaannya, maka cara mengenakan kain nampak tidak formal. Artinya, kain jarit yang dikenakan tidak mengenal wiru dan lagi “cingkrang” (kurang panjang). Dalam keadaan betisnya hanya tertutup setengah lutut itu justru dimanfaatkan oleh Sudarso untuk menggarap bagian kaki (kebetulan selalu tanpa alas) sebaik mungkin. Satu pertanyaan yang sering dilontarkan terkait hal ini ialah mengapa Sudarso selalu melukis wanita dalam gaya, bentuk, adegan, dan suasana yang nyaris sama, yaitu wanita Jawa, dalam seting desa, tengah duduk sendiri, dalam suasana sunyi. Misalnya Dik Kedah, Tinah, dan Dik Tiul. WANITA BERMATA BOLONG JEIHAN Jeihan Sukmantoro lahir di Solo pada tahun 1938. Ia belajar di HBS (Himpunan Budaya Surakarta) tahun 1953-1955, dan menimba ilmu di ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 1960-1966. Jeihan kemudian mengembangkan karir sebagai seniman professional, menetap dan berkarya di Bandung. Sebagian besar karya lukisan Jeihan menggambarkan sosok-sosok manusia, terutama wanita sederhana, dalam suasana santai, tidak sedang melakukan ativitas, dalam posisi duduk, atau tidur. Secara isikal, karakteristik karya-karya Jeihan tampak pada penggambaran objek manusia yang diungkapkan secara datar (lat), dengan warna biru, abu-abu, keputih-putihan yang disokong dengan kontur wana gelap kehitam-hitaman. Sosok-sosok wanita yang ditampilakan Jeihan lazimnya berpostur langsing, sementara bagian mata dibuat gelap seolah-olah berlubang (bolong) seperti menatap

60 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62

dengan pandangan kosong. Nyaris serupa dengan karya-karya Sudarso, wanitawanita Jeihan lazimnya juga dalam seting kesendirian, sunyi, memendam rindu, seperti yang berjudul Arifah (1987).

Gambar10. Arifah, lukisan karya Jeihan

GAYA KUBIS PADA LUKISAN WANITA IDA HADJAR Ida Hadjar (1942-2004) belajar melukis di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta. Karya-karya nya mendapat pengaruh karya Picasso yang kubistis dan karya pelukis Mexico Diego Rivera yang bervisi Realisme Sosial. Pada tahun 1967 Ida Hadjar menerima penghargaan dari Wendy Sorenson Memorial, New York, dan tahun 1992 menerima penghargaan “Canting Emas,” dari Yogyakarta, sebuah penghargaan di bidang lukisan Batik. Berkenaan dengan kepiawaiannya melukis dengan medium batik, pada tahun 1983-1985 Ida Hadjar hijrah sementara ke Amerik dan mengajar melukis batik di Ann Arbor Art Association & The International Neighbours di Michigan. Sebagai pelukis wanita, tampaknya Ida Hadjar ingin melawan stereotipe wanita sebagai makhluk yang lembek, sebaliknya ia membangun citra wanita yang “struggle” penuh perjuangan hidup. Kesan itu dinyatakan dalam igur-igur wanita yang kuat, dalam gaya kubis dengan kontur tebal, gelap, dan tegas, seperti karyanya yang menggambarkan empat sosok wanita, berjudul “Pergi ke Pasar.” KESIMPULAN Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pencitraan wanita dalam karya seni rupa beraneka ragam, bergantung pada latar belakang penciptaan karya tersebut, terutama tekait dengan visi dan pemaknaan atas wanita yang digambarkan. Pertama, pencitraan wanita sebagai simbol kesuburan. Karena itu penonjolan

MUHAJIR N., Citra Wanita dalam Karya Seni Rupa •

61

bentuk pada aspek-aspek pendukung fungsi reproduksi, seperti buah dada perut dan pusar menjadi penting, misalnya patung Venus dari Willendorf. Kedua, mencitrakan sifat kewanitaan yang terjabar lewat kecantikan paras, keelokan tubuh, lemah lembut, anggun dan sifat-sifat lain yang mengarah pada feminitas. Misalnya lukisan Venus karya Boticelli dan Venus karya Francois Boucher. Ketiga, Sifat keibuan yang penuh kasih sayang, perawatan dan pengasuhan terhadap buah hatinya, seperti pada lukisan Madonna karya Parmigianino dan sosok patung batu prasejarah dari Sumatra Utara. Keempat, Citra wanita sebagai makhluk lemah, makhluk yang bahkan tak berdaya melindungi dirinya sendiri terhadap kekuatan, keperkasaan, dan kegarangan lelaki yang hendak merampas kewanitaannya. Citra ini tampak pada karya Delacroix “Kematian Sardanapalus” dan karya Da Cortana “Pemerkosaan Wanita-wanita Sabina” yang memposisikan wanita dalam suasana tercekam/ketakutan. Kelima, citra wanita dalam posisi dan suasana hati tersanjung, dikagumi, digandrungi sekaligus sebagai penghias dunia lelaki, seperti karya Manet dan karya-karya Basuki Abdullah. Keenam Citra keagungan wanita “sempurna” yang merupakan perpaduan antara keelokan rupa, derajad kebangsawanan dan kekuatan spiritual, seperti pada patung Prajna Paramita. Ketujuh, penggambaran wanita sebagai simbol kepahlawanan seperti patung Dewi Durgamahesa Suramardini. Sifat kepahlawanan dan keperkasaannya tergambar pada sikap badan dan kakinya yang dalam posisi siaga serta sejumlah senjata yang berada dalam genggaman tangannya. Kedelapan, citra ironi wanita, maksudnya wanita yang secara generik dicitrakan sebagai simbol keindahan/kecantikan, justru didekonstruksi bentuknya menjadi sosok yang kurang menarik, tidak menarik, bahkan menakutkan. Pencitraan serupa ini misalnya tampak pada karya-karya Picasso, Hendra Gunawan, dan Ida Hadjar. Dalam banyak kasus visualisasi dan pencitraan wanita dalam karya seni rupa ternyata sejalan dengan perspektif/teori gender yang memposisikan wanita/ perempuan sebagai sosok inferior, tersubordinasi oleh laki-laki. Kesejalanan tersebut boleh jadi karena ketimpangan gender adalah merupakan produk konstruksi kaum laki-laki, sama halnya pencitraan/visualisasi wanita dalam karya seni rupa juga merupakan konstruksi/kreasi laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Bowness, Alan, ed. 1985. Book of Art Volume 7: Impressionists and Post-Impressionists. Grolier. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terjemahan Soedarso RM. Bandung: Arti.Line. Janson, H.W. 1984. History of Art. New York: Harry N. Abrams, INC. Monteverdi, Mario ed. 1985. The Book of Art Volume 2: Italian Art to 1850. Grolier Soedarso, S.P. (Ed), 1992, Seni Patung Indonesia, BP ISI Yogyakarta. van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

62 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 50–62